Kesemuanya dharma (tindakan tepat), artha (keamanan sosial), kama
(kenyamanan dasar) dan moksha atau kebebasan – lazimnya dianggap sebagai
empat purushartha, empat pilar terpenting dari struktur kehidupan
manusia.
Purusharta berasal dari bahasa Sansekerta, sebenarnya terdiri atas
dua kata, purusha dan artha. Purusha biasanya diterjemahkan sebagai
pria; tapi makna ini, dapat diperluas mencakup wanita juga. Jadi Purusha
ialah keduanya, laki-laki dan perempuan – manusia.
Artha dapat berarti kekayaan, uang dan bahkan makna. Ini ialah
sesuatu yang memberi arti bagi hidupmu. Jadi keempat Purushartha
semuanya memberi makna pada kehidupan. Sekarang, anda tak harus menjadi
orang Bali untuk setuju bahwa mereka, sejatinya, merupakan empat hal
terpenting dalam hidup ini. Semuanya disebut pilar struktur kehidupan
manusia.
Kita semua butuh untuk tahu apa yang tepat dan apa yang tidak tepat.
Kita semua membutuhkan sesuatu seperti keamanan sosial, kenyamanan dan
kebebasan. Itulah kebutuhan dasar dan lazim dari semua manusia.
Bagaimana kita memenuhi kebutuhan itu? Bagaimana kita menggapainya?
Leluhur kita menasehati kita untuk memulainya dengan dharma.
Seseorang harus tahu apa yang tepat, dan apa yang tidak tepat dilakukan.
Dengan pemahaman semacam ini, seseorang harus memperoleh kemampuan yang
dibutuhkan dan keahlian untuk menjalankan bidang tindakan yang dipilih.
“Dahulukan yang penting,” begitulah nasehat yang dipopulerkan Stephen
Covey. Pertama, kita harus mendapatkan dharma. Tanpa kebijaksanaan
untuk memilah apa yang tepat dan apa yang tak tepat, kita tak dapat
berhasil dalam hidup. Dan untuk mengembangkan kebijaksananaan semacam
itu, sangatlah penting bahwa kita memiliki sebuah pikiran yang tajam dan
kemauan untuk belajar.
Kebijaksanaan ialah buah dari pembelajaran. Kita belajar dari buku.
Kita juga belajar dari mengamati orang lain dan pengalaman hidup mereka.
Yang terpenting, kita belajar dari pengalaman kita sendiri. Dalam
beberapa tahun pertama kehidupan kita, kita belajar ddengan mengamati
orang lain. Itu yang kita lakukan saat kita masih anak-anak. Kita tak
dapat membaca; kita tak bisa menulis; tapi kita bisa mengamati. Membaca
dan menulis datang kemudian – yang pertama ialah observasi.
Anak-anak, yang kekurangan kemampuan pengamatan ini umumnya tak
terlalu ingin tahu. Mereka tidak banyak bertanya. Kita mungkin
menganggapnya sebagai anak yang bertipe pendiam. Kita mungkin merasa
senang dengan hal tersebut, karena mereka tak menggangu kita seperti
halnya tipe anak yang suka bertanya. Kendati demikian, hal ini tak
bagus. Anak-anak yang kurang observasi tak hanya tumbuh secara kurang
bijaksana, tapi juga kurang dinamis.
Inilah alasan kenapa kita mempunyai banyak motivator di hari-hari
belakangan ini. Sebagian dari kita yang kurang mengobservasi saat masa
kanan-kanak tak bisa melakukan apa-apa tanpa mereka. Kita pelu
dimotivasi, dan didorong untuk mencapai tujuan kita dalam kehidupan,
untuk memenuhi dan meraih segalanya.
Amati anak-anak anda dan periksa seberapa kerap ia melakukan
observasi. Anak yang observan bukanlah anak yang nakal dan bandel, tapi
ia yang selalu bertanya, “apa ini? apa itu?”. Ini ialah pikiran yang
bertanya yang membantu anak mekar menjadi manusia yang utuh. Tanpa
pikitan yang bertanya, kita tetaplah separuh manusia.
Pikiran yang kritis bertanya, kendati demikian, tak dapat diperbudak.
Memang ada komunitas, masyarakat dan sistem sosial yang tak suka dengan
pikiran yang kritis. Mereka melecehkan intelegensia. Mereka
mengharapkan pikiran yang tumpul yang dapat diarahkan da dikuasai.
Penguasa di manapun, dan di bidang apapun menentang orang cerdas, karena
mereka tak bisa diperbudak.
Purushaartha, seperti yang diwariskan leluhur kita, ialah bukan untuk
para budak. Selain perbudakan, mereka tak punya pilihan lain dalam
hidup. Perbudakan ialah satu-satunya makna dalam hidup mereka. Mereka
tak dapat meraih dharma, artha, kama dan moksa. Mereka tak bebas
melakukan apapun. Mereka telah diperbudak begitu lama sehingga mereka
tak lagi merasa berharga, atau bahkan memahami, arti kebebasan dan
kemerdekaan itu sendiri.
Sayangnya, perbudakan bukan tradisi yang usang dan mati. Pada zaman
Musa perbudakan begitu kasat mata dan dan tumbuh subur seperti pada.
Sekarang kita mempunyai penguasa genre baru. Di mana pemerintah tak lagi
kejam, ekonomi, sosial, religius dan institusi yang sejenis lainnya
menjadi para penguasa baru. Mereka dapat mengontrol pemerintah dari
balik layar sehingga tetap terlihat.
Untuk menggapai keempat purushaartha ialah untuk mematahkan rantai
perbudakan, dan membebaskan pikiran kita. Tapi seperti yang telah saya
katakan, jika kita terlalu lama dipebudak, kita bahkan bisa jadi tak
memahami arti kebebasan. Kita mungkin malah menikmati perbudakan, dan
merasa nyaman. Oleh sebab itu, dari waktu ke waktu, kita membutuhkan
seorang Musa atau seorang Muhammad, seorang Buddha atau seorang Krishna,
seorang Washington atau seorang Gandhi untuk menunjukan pada kita jalan
keluar dari pebudakan.
Para mesias, nabi, manusia tuhan, avatar atau apapun sebutan anda
bagi mereka sebenarnya “orang bebas.” Mereka mengetahui arti kebebasan.
Mereka ialah manusia dengan pikiran yang tajam dan intelegensia super.
Mereka bisa merangkul keempat Purushartha dan menghayati kehidupan
dengan gayanya sendiri. Dan mereka hendak berbagi dengan kita jenis
kebebasan yang mereka nikmati. Mereka menghampiri kita untuk menunjukkan
pada kita jalan keluar dari perbudakan.
Ya, itu ialah apa yang mereka tepatnya lakukan. Mereka “menunjukkan”
pada kita jalan menuju kebebasan, kemandirian, kemerdekaan dan keadilan
untuk semua. Kita masih harus menapaki jalan itu. Mereka tak bisa
berjalan untuk kita.