Beberapa
antropolog asing pernah menulis perihal keunikan sabung ayam yang ada
pada masyarakat Bali. Di antara mereka adalah G. Bateson dan M. Mead
dalam karyanya, Balinese Character: A Photographic Analysis (1942);
J. Belo “The Balinese Temper” dalam Traditional Balinese Culture
(1970), aslinya diterbitkan pada tahun 1935); dan C.Geertz dan H.
Geertz dalam The Interpretation of Cultures: Selected Essays (1974).
Bagi mereka sabung ayam yang berfungsi sebagai tabuh rah semata maupun
untuk memenuhi fungsi sekuler lainnya adalah kenyataan kultural dan
simbolis.
Sebagai sesuatu yang simbolis, sekalipun yang bertarung hanya
jago-jago (siap), tetapi sesungguhnya yang bertarung di sana adalah
manusia-manusia dengan segala lelucon, pembicaraan yang dangkal, dan
pelepasan berbagai ketegangan. Di dalamnya terjadi permainan dan
penyaluran kekerasan, relasi kekuasaan dan perayaan hasrat akan
kemenangan, dan berbagai bentuk histeria yang tidak mungkin disalurkan
dalam dunia kehidupan norma dan nilai. Malahan Bateson dan Mead
menyatakan paralel dengan konsep orang Bali tentang tubuh sebagai
seperangkat bagian-bagian berjiwa dan terpisah-pisah, jago dianggap
sebagai zakar yang dapat ditanggalkan, yang dapat bergerak sendiri
sebagai alat kelamin yang berjalan-jalan, dan hidup. Geertz malahan
menyatakan lebih tegas bahwa jago adalah simbol kejantanan par
excellence, ibarat kepastian bahwa air mengalir menuruni bukit.
Kedekatan orang Bali dengan sabung ayam (tajen) atau keakraban
orang Bali dengan jago-jago mereka lebih daripada sekadar metaforis.
Sebagian besar orang Bali menghabiskan waktu mereka untuk merawat,
memberi makan, membicarakan akan ketangguhan, mencoba satu sama lain,
dan menatap jago mereka dengan kekaguman dan lamunan mengasyikan serta
menerawang penuh harap. Sang jago diperlakukan secara khusus, baik
berkaitan dengan makan, cara memandikan, dan memelihara bulu-bulu
mereka. Seorang laki-laki yang keranjingan jago, seorang yang antusias
dalam arti harfiah, dapat menghabiskan sebagian besar hidupnya untuk
jago-jago itu. Malahan menghabiskan tidak hanya sesuatu yang tampak
bagi orang luar, melainkan juga bagi diri mereka sendiri, sejumlah
besar waktu untuk jago-jago itu. Demikian antusiasnya gambaran orang
Bali terhadap jagonya, sebagaimana diungkapkan Geertz sehingga kita
tidak sadar juga telah terbius keantusiasan memegang jago kita
masing-masing dalam kesempatan ini.
1. Tajen: Pada Masa Lalu dan KiniTajen
sebagai fenomena kultural pada masa lalu terutama diarahkan untuk
memenuhi fungsi yadnya, berupa tabuh rah, antara lain tajen nyuh dan
tajen taluh. Tajen jenis ini dilaksanakan setelah tari kincang-kincung,
berupa tarian dengan sarana tombak dan keris (kadutan) pada menjelang
upacara piodalan selesai. Tari dan tajen jenis ini merupakan ekspresi
kekerasan dalam bentuk pertarungan hingga menang-kalah karena kekalahan
(kematian) pada satu pihak bermakna memberi kemenangan (kehidupan) pada
pihak lain. Perang dan kematian adalah kebutuhan rohani, kebutuhan
religi. Religi selalu berhubungan dengan metakosmos dan menghadirkan
yang “yang di luar sana” itu dalam dunia manusia, agar berkah transenden
lebih menghidupkan manusia. Pada dasarnya mereka juga tidak menyukai
kematian dan perang. Akan tetapi hidup harus dilakukan seperti itu
karena hanya dengan cara itulah hidup ini dimungkinkan. Dengan demikian
kehidupan dapat berjalan normal kembali tanpa tekanan, baik fisik
maupun psikis. Ini mengandaikan bahwa setiap orang termasuk orang Bali
dalam dirinya telah terkandung unsur-unsur kekerasan, bahkan
ketegangan-ketegangan yang secara normal harus mendapat saluran
pelepasan. Melalui upacara keagamaan yang ditautkan pada kesenian dan
tradisi lainnya rupanya, orang Bali memperoleh penyaluran kekerasan dan
pelepasan ketegangan hidup yang dialami sehari-hari. Itu sebabnya
sabung ayam yang pertama senantiasa dilaksanakan di areal pura. Jika
dipandang perlu dilanjutkan maka hal itu diselenggarakan di jabaan pura
dengan tetap diikat oleh tata krama yang semestinya berlaku dalam
areal pura.
Kalaupun tajen dilaksanakan bukan di kekeran tempat suci dan
dalam konteks upacara (dan umumnya dilaksanakan enam bulan sekali) maka
sebelum dilaksanakan sambung ayam dapat dipastikan selalu akan
didahului dengan upacara keagamaan. Setidaknya dalam areal itu akan
dipasang sanggah cucuk yang salah satu maknanya mengingatkan manusia
agar dalam menjalani kehidupan yang sarat dengan aspek gambling,
senantiasa tetap berada pada koridor kejujuran, etika, sopan-santun,
dan hal-hal lain yang berhubungan dengan pemantapan makna itu. Artinya,
sekalipun disadari ada unsur judi yang melekat pada pelaksanaan tabuh
rah, tetapi unsur-unsur judi senantiasa dicoba diminimalkan dengan
proses ritual dan simbolis. Sebaliknya, saat ini tajen cenderung
dilaksanakan sepanjang waktu lepas dari konteks upacara. Jikapun
dilaksanakan dalam konteks upacara, acapkali hal itu dilaksanakan
sebagai kamuflase dari sebuah upacara tertentu, yang boleh jadi tidak
apa-apa jika tidak diisi dengan tajen.
Tajen pada masa yang lalu umumnya dilaksanakan oleh desa dan
atau banjar adat dengan berbagai prosedur, ketaatan warga untuk
mentaati perarem yang telah mereka rumuskan, percayai, dan dijadikan
pedoman bertingkah laku. Jikapun karena kemampuannya seorang warga
diminta mengkoordinasikan pelaksanaan tajen maka orang itu tetap tunduk
pada desa dan banjar adat yang menjadi penanggung jawab pelaksanaan
tejen. Jadi, segala hak dan kewajiban yang melekat pada kedudukan
sebagai koordinator pelaksanaan tajen, bukan merupakan hak dan
kewajiban individu. Belakangan ini malahan saya melihat bahwa tajen
acapkali diselenggarakan oleh individu dan atau kelompok orang dengan
hak-hak dan kewajiban yang diklaim sebagai hak individu atau kelompok,
lepas dari tanggung jawab desa atau banjar adat. Tentu yang lebih
memprihatinkan lagi jika betul adanya sinyalemen keterlibatan oknum
aparat dalam penyelenggaraan tajen misalnya, dengan meminta hasil satu
kali putaran dari siklus yang disepakati.
Pola ini membawa konskuensi yang amat luas secara sosiologis.
Jika pada masa lalu, tajen tidak dapat dihindarkan pelaksanaan maupun
unsur judinya, tetapi tajen tetap dapat dikendalikan dan diisolir
secara relatif. Sirkulasi ‘kekayaan’ warga, juga bergerak di sekitar
itu dengan nilai yang relatif terjangkau. Sebaliknya, dengan network
individu atau kelompok penyelenggara semakin luas, semakin terbuka pula
adanya kapital ‘asing’ masuk ke dalam tataran ekonomi lokal sehingga
keseimbangan sirkulasi ekonomi kerakyatan tidak dapat dipertahankan
lagi. Fungsi rekreasi, releksasi, dan pelepasan dari berbagai kesuntukan
sebagaimana dinyatakan Geertz tidak lagi dapat dipenuhi, malahan
ketegangan-ketegangan baru mulai tercipta.
Ketegangan-ketegangan itu merupakan wujud awal dari sebuah
pertikaian. Dalam upacara keagamaan, justru pertikaian itulah yang
membuat pasangan oposisi. Dalam pertikaian, dalam perang, dan dalam
kematian yang diakibatkannya, hadir suatu yang transenden. Daya-daya
hidup ini justru hadir dalam bentuk kematian. Kematian adalah
kehidupan. Perang adalah syarat perdamaian, kemakmuran, dan kesuburan.
Bagi si pemenang dan yang dikalahkan kematian diperlukan agar hidup
dapat dilanjutkan. Ini bukan berarti masyarakat tidak menjalanan hidup
dalam kelompok-kelompok sosial. Hidup bersama dalam satu kelompok itu
kodrati karena manusia memang makhluk sosial. Manusia tidak mungkin
hidup sendirian. Akan tetapi kesosialan ini juga tetap berpegang teguh
pada prinsip pemisahan. Setiap banjar atau desa pakraman mempunyai
pasangan banjar atau desa pakraman masing-masing. Pasangan-pasangan
itu, bahkan membentuk federasi banjar atau desa pakraman. Namun
pasangan-pasangan banjar atau desa pakraman tadi bukan dalam arti
perkawinan, melainkan pasangan perang. Pasangan persaingan. Pasangan
tetap dalam perseteruan. Ini memungkikan kehidupan tetap belangsung.
Dalam pasangan oposisi laki-laki versus perempuan dalam budaya
perang, tentu saja laki-laki yang mengalahkan perempuan. Suami-istri
juga harus dipisahkan. Ada rumah perempuan dan ada rumah lelaki. Ada
ruang perempuan dan ada ruang lelaki dalam satu rumah. Garis pemisahnya
harus jelas. Pemisahan dan jarak itulah yang baik. Lelaki lebih
berkuasa daripada perempuan. Lelaki adalah hidup itu sendiri. Pemujaan
lelaki, pemujaan phalus, pemujaan kelamin lelaki menguasai kehidupan.
Anak laki-laki lebih diharapkan karena memungkinkan hidup kolektif
terus berlangsung. Perempuan bukan tidak diperlukan, tetapi dikalahkan.
Perempuan kelas dua. Pemujaan lelaki, pemujaan pahlawan yang gugur
dalam perang mendapat tempat terhormat dalam etika sosial. Mereka
adalah manusia-manusia berjasa bagi kelompok.
Apabila benar ini pola pikir yang mendasari kelahiran tajen di
Bali maka fenomena tajen itu pada prinsipnya sejalan dengan gagasan
Jakob Sumardjo tentang masyarakat yang membangun budayanya berdasarkan
berpikir pola dua, yakni bahwa hidup itu pemisahan. Hidup itu
persaingan; hidup itu konflik; dan konflik itu adalah perang. Adanya
pasangan oposisi semua hal harus dipecahkan dengan mengalahkan salah
satu. Jikalau pasangannya kalah, lenyap, dan mati maka hidup
dimungkinkan. Kematian satu pihak memungkinkan pihak lain itu hidup.
Kondisi hidup ini mau tak mau harus diterima seperti itu. Hidup itu
pemisahan karena penyatuan tidak menyenangkan. Dalam masyarakat berpola
dua jumlah kelompok sosial bukan semakin menyatu, tetapi semakin
terpisah-pisah. Semakin lama jumlah suku semakin banyak. Bahasa semakin
bervarian dan sengaja membedakan diri dengan kelompok lain yang jelas
dipandang sebagai pesaingnya. Ini sebabnya pro-kontra dan pertikaian
menjadi warna kehidupan budaya masyarakat.
2. Pro-Kontra terhadap Tajen
Dari fenomena terurai di atas dalam berbagai diskursus maupun
pembicaraan di lingkungan masyarakat kebanyakan telah berkembang dua
pemikiran utama dalam menyikapi masalah tajen, yaitu sebagai berikut.
Pertama,
perspektif ini lebih bertitik tolak dari pemikiran idealisme-normatif.
Termasuk dalam kelompok ini juga mereka yang menganut paham teologis.
Argumentasi mereka adalah tajen berbeda dengan tabuh rah. Tajen
merupakan bias dari konsep tabuh rah yang notabenanya sarat dengan
nuansa ritual-religius. Tabuh rah adalah sebuah proses awal dari
rangkaian ritual berikutnya. Tabuh rah berhubungan dengan upaya manusia
untuk memelihara hubungan baik dengan dunia bawah, dunia yang
memerlukan kurban, binatang, dan darah yang langsung mengalir dari tubuh
koban. Jadi, tabuh rah berfungsi menetralkan hubungan manusia dengan
dunia bawah, sebelum menapak dunia tengah dan atas. Oleh karena tajen
merupakan bias dari konsepsi tabuh rah, dan cendrung telah menjadi
sebuah game yang mengandung unsur spekulasi dan taruhan dengan harapan
memperoleh keuntungan maka tajen bukanlah sesuatu yang patut
dilestarikan, melainkan sebaiknya diminimalkan keberadaannya. Penganut
pemikiran ini beranggapan bahwa tajen sebagai fenomena judi merupakan
‘candu’ bagi masyarakat. Ia hanya menjajikan kebahagiaan, membawa orang
ke alam hampa udara dan tidak pernah dapat berdiri dengan tegak.
Malahan pandangan yang agak sinis dilontarkan untuk itu dengan
menyatakan bahwa tidak ada orang yang kaya karena judi, tetapi
sebaliknya banyak dijumpai orang menjadi miskin dan menderita karena
judi. Sebab itu, judi dalam segala bentuknya harus dihindarkan.
Pandangan ini cendrung berpretensi puritanisme yang dibawa oleh
nasionalisme radikal. Penganut paham ini cenderung khawatir akan petani
miskin, orang yang tidak terdidik mempertaruhkan seluruh harta mereka
dalam game itu. Mereka juga khawatir terhadap adanya perilaku
menyia-nyiaan waktu, padahal sebagai bangsa yang sedang membangun
memanfaatkan waktu secara baik merupakan awal dari kesuksesan. Dalam
pernyataan yang agak sinis, para penganut paham ini kembali melontarkan
pernyataan: bagaimana mungkin kita akan masuk ke dalam setting global,
jika sebagian besar waktu yang ada dimanfaatkan hanya untuk memelihara
jago dan mengadunya?
Kedua, kelompok ini disebut dengan
emperisme-pragmatis karena argumentasi yang dilontarkannya senantiasa
berdimensi empiris dan pragmatis. Bagi mereka tajen adalah sebuah wadah
bagi orang Bali dalam mengekspresikan berbagai emosi dan sebagai
perwujudan karakter mereka. Tajen sebagai sesuatu fakta, ia ada dan
tidak mungkin dinisbikan hanya oleh kekuasaan birokrasi, terlebih hal
itu merupakan keinginan masyarakat. Dalam proses historis, sekalipun
pada masa pemerintahan Belanda dan Republik, tajen dilarang toh dalam
kenyataannya tajen tetap ada dan semakin semarak saja.
Tajen tidak saja telah memungkinkan tumbuh dan berkembangnya
sektor informal dalam arena pertandingan jago, seperti saya, tukang
taji, pekembar, dan sebagainya; tetapi ia telah mampu memberi kehidupan
bagi lingkungan yang lebih luas di luar arena. Dalam aspek emperis,
terbukti terdapat banyak infrastruktur desa yang dibangun dari hasil
tajen, tidak terbatas hanya pada bangunan sekuler, tetapi juga bangunan
yang disucikan. Oleh karena itu, menisbikan tajen sama artinya dengan
tidak mau tahu dengan kenyataan yang ada. Malahan para penganut paham
ini menyatakan: mengapa kita harus takut dengan judi, bukankah hidup
kita ini sesungguhnya sebuah permainan atau gambling?
3. Tajen dan Pembangunan Berbudaya
Komitmen pembangunan Bali berdasarkan kebudayaan yang bersumber dari
agama Hindu memiliki implikasi luas, termasuk dalam upaya memahami dan
menempatkan persoalan tajen dalam proses pembangunan lainnya. Jika kita
konsisten terhadap makna teologis pembangunan berbudaya maka
seharusnya menjadi komitmen bersama untuk meminimalkan segala bentuk
judi. Artinya, jikapun tajen belakangan ini kelihatan semakin marak di
Bali, bukan merupakan sebuah pembenar untuk melegalkan hal itu. Sebab,
pengalaman teologis sebagaimana digambarkan dalam kisah Mahabharata
telah memberikan cukup bekal kepada kita bahwa (1) judi telah membuat
orang menderita dalam kurun waktu yang cukup lama dengan berbagai
cobaannya; (2) judi telah menimbulkan adanya berbagai konflik
kepentingan di dalam lingkungan keluarga; (3) judi telah menyebabkan
runtuhnya etika dan sopan santun.
Jika karena semakin maraknya
tajen kemudian dilegalkan maka logika yang sama tidak dapat dihindarkan
ketika kita mencoba memahami dan mengkaji patologis sosial lainnya,
seperti pelacuran. Bukankah pelacuran telah ada bersamaan dengan adanya
manusia, dan bukankah pula realitas menunjukkan bahwa belakangan ini
hal seperti itu juga semakin marak? Konskuensinya kita juga tidak dapat
menutup mata terhadap kenyataan ini, dan bagaimana dengan judi
lainnya, seperti bola adil, blok kiu, spirit, dan sejenisnya.
Semakin maraknya tajen, metuakan, dan patologis sosial lainnya
seperti prostitusi juga tidak mengharuskan untuk melegalkannya. Krisis
ekonomi berkepanjangan yang mengakibatkan terjadinya pemutusan hubungan
kerja, masih terbatasnya lapangan kerja produktif, dan karena itu
mengakibatkan waktu senggang menjadi sedemikian banyaknya, merupakan
sebab yang harus dicari jalan keluarnya. Jadi, maraknya persoalan
tajen, metuakan, dan prostitusi tidak mengharuskan kita mengambil
kebijakan yang bertentangan dengan pertimbangan teologis dan kultural.
Pendapat saya (boleh setuju maupun tidak), semakin maraknya judi
dalam segala bentuknya terkait dengan banyaknya waktu luang yang belum
dimanfaatkan secara efektif. Jika saja setiap orang telah memiliki
tanggung jawab terhadap pekerjaan dan kewajiban sosial lainnya maka
tindakan ke arah itu (judi) tentu akan dapat diminimalkan. Oleh karena
itu, perlu dilakukan langkah-langkah ke arah optimalisasi peran, seperti
memanfaatkan potensi pemuda untuk mengaktifkan kembali pekan olahraga
dan seni desa, melaksanakan lomba sekaa teruna, dan melaksanakan
berbagai bentuk pendalaman sradha pada seluruh lapisan masyarakat.
Dengan kata lain, untuk melepaskan diri kita dari tarikan semacam itu
maka kita harus kembali ke jalan dharma. Bukankah kita telah diajarkan
oleh para leluhur untuk menikmati kesenangan (khama) berdasarkan
dharma, demikian pula dalam rangka menghasilkan artha harus dilandasi
oleh dharma. Jika ini tetap menjadi pegangan pembangunan berwawasan
budaya bernafaskan agama Hindu maka tampaknya kita harus bersama-sama
berusaha ke arah itu.
Proses ke arah itu bukanlah sesuatu yang mudah untuk dilakukan.
Ia memerlukan kesungguhan hati, niat yang luar biasa, ketabahan, dan
latihan terus-menerus. Dalam menapaki proses ke arah itu, kita akan
dihadapkan pada berbagai tantangan dan godaan, malahan
pengucilan-pengucilan tertentu karena dianggap tidak sesuai dengan opini
yang berlaku saat itu. Sekalipun demikian, kami akan berusaha tetap
melaksanakan amanat pembangunan berbudaya bernafaskan agama Hindu dengan
tidak menutup mata pada kenyataan bahwa masih ada banyak persoalan
kemanusiaan, adat, agama, dan lingkungan yang memerlukan perhatian lebih
serius.
4. Simpulan
Berdasarkan uraian
itu dapat kami simpulan, bahwa tajen merupakan bias dari konsep tabuh
rah. Sebagai suatu game yang mengandung spikulasi dan harapan untung
rugi, tajen hendaknya dikembalikan kepada konsepsi dasar, yaitu tabuh
rah – sebuah sarana persembahan kepada Tuhan dalam rangka memelihara
hubungan harmonis dengan tuhan, alam, dan manusia. Artinya, saat ini
telah terjadi pergeseran makna sabungan ayam pada masyarakat Bali, dari
memenuhi fungsi ritual, sosial, emosional ke arah fungsi spekualisi
dan judi.
Maraknya tajen tidak harus diikuti dengan usaha melegalkan
permainan itu, melainkan memberi pembobotan yang padat dan berisi
kepada setiap orang Bali (umat) yang memiliki banyak waktu luang.
Pembobotan kepada setiap umat, diharapkan tidak akan mengalihkan
perhatian terhadap hal semacam itu, tetapi juga akan memberikan proses
pencerahan, untuk selanjutnya digunakan bekal masuk dalam setting
global yang sebentar lagi menghadang di hadapan kita. Upaya perlawanan
dengan hukum positif rupanya juga bukan jalan keluar yang memuaskan
karena basis budaya berdasarkan berpikir pola dua mengendapkan
persaingan, pertikaian, dan konflik adalah kodrati. Di dalamnya
diperlukan upaya bersama semua pihak dan terus-menerus karena upaya
menekan tajen pada tataran pelarangan akhirnya, mendapat reaksi yang
sepadan. Dengan kenyataan ini patut dipertimbangkan sebuah penelusuran
terhadap akar budaya masyarakat sebagaimana tampak dalam ritual-ritual
keagamaan. Dengan demikian orang Bali yang berbudaya dan berciri Hindu
tetap survive dalam pertarungan global.
Demikian beberapa pokok pikiran yang dapat saya sampaikan
disertai harapan semoga pikiran baik datang dari segala penjuru dan
diberikan petujuk oleh-NYA dalam melaksanakan amanat dharma agama dan
dharma negara.
Sumber : http://www.cakrawayu.org/artikel/8-i-wayan-sukarma/62-tajen-dalam-masyarakat-bali.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar