Pakaian adalah suatu tren tertentu sesuai dengan fenomena yang
dihadapi, namun kita sering lupa apa makna pakaian tersebut bagi
dirinya. Sebagai manusia yang berkebudayaan pakian merupakan wujud
budaya suatu individu dan bangsa. Pakaian memberikan nilai dan warna
dari budaya . Sebagai manusia yang memiliki pikiran cerdas pakaian
merupakan buah pikiran yang matang untuk dapat memperlihatkan prestis
atau harga diri ditengah-tengah orang lain yang membenahi diri dalam
mencari jati diri. Filosofi pakaian adat bali pada dasarnya bersumber
pada ajaran Sang Hyang Widhi yakni Tuhan yang di yakini memberikan
keteduhan, kedamaian dan kegembiraan bagi umat Hindu yang
mempercayainya. Pakaian adat Bali pada dasarnya adalah sama, yakni
kepatuhan terhadap Sang Hyang Widhi. Dasar konsep dari busana adat bali
adalah konsep Tapak dara (swastika) yang disebut Tri angga yang terdiri
dari :1. Dewa Angga : dari leher ke kepala2. Manusa Angga : dari atas
pusar sampai leher3. Butha Angga : dari pusar samapai BawahAdapun yang
dimaksud dengan komposisi dan jenis pakaian adat Bali adalah : Busana
(Payas) Gede/ Agung, Busana Jangkep/ lengkap (Madia) dan Busana adat
alit / sederhana. Dalam acara tersebut Bapak Wayan Gunarta Lebih
menekankan pada Makna Filosofis Pakaian adat yaitu :a. Busana adat ke
pura untuk putra Dalam menggunakan busana adat Bali diawali dengan
menggunakan kain/kamen, dengan lipatan untuk putra kamen/ wastra
melingkar dari kiri kekanan karena merupakan pemegang Dharma. Tinggi
kamen putra kira-kira sejengkal dari telapak kaki karena putra sebagai
penanggung jawab Dharma harus melangkah dengan panjang, tetapi harus
tetap melihat tempat yang dipijak adalah Dharma. Pada putra menggunakan
kancut (lelancingan) dengan ujung yang lancip dan sebaiknya menyentuh
tanah (menyapuh jagat), ujungnya yang kebawah sebagai symbol
penghormatan terhadap ibu pertiwi. Kancut juga merupakan symbol
kejantanan. Untuk persembahyangan, tidak diperkenankan untuk menunjukkan
kejantanan yang berarti pengendalian, tetapi pada saat ngayah
kejantanan itu boleh ditunjukkan. Untuk menutupi kejantanan itu maka
ditutupi dengan saputan (kampuh). Tinggi saputan kira-kira satu jengkal
dari ujung kamen, selain untuk menutupi kejantanan, saputan juga
berfungsi sebagai penghadang musuh dari luar. Saputan melingkar
berlawanan arah jarum jam (prasawya). Kemudian dilanjutkan dengan
menggunakan selendang kecil (umpal) yang bermakna kita sudah
mengendalikan hal-hal yang buruk. Pada saat inilah tubuh manusia sudah
terbagi dua yaitu Bhuta Angga dan Manusa Angga. Penggunaan umpal diikat
menggunakan simpul hidup di sebelah kanan sebagai symbol pengendalian
emosi dan menyama. Pada saat putra memakai baju , umpal harus terlihat
sedikit agar kita pada sat kondisi apapun siap memegang teguh Dharma.
Kemudian dilanjutkan dengan menggunakan baju (kwaca) dengan syarat
bersih, rapi dan sopan. Baju pada saat busana adat terus berubah-ubah
sesuai dengan perkembangan. Pada saat kepura harus menunjukan rasa
syukur kita, rasa syukur tersebut diwujudkan dengan memperindah diri.
Jadi pada bagian baju sebenarnya tida ada patokan yang pasti. Kemudian
dilanjutkan menggunakan udeng (destar). Udeng secara umum dibagi tiga
yakni:
1). udeng jejateran (udeng untuk persembahyangan) menggunakan simpul
hidup di depan, disela-sela mata, sebagai lambang cundamani atau mata
ketiga. Juga sebagai lambang pemusatan pikiran, dengan ujung menghadap
keatas sebagai symbol penghormatan pada Sang Hyang Aji Akasa.udeng
jejateran memiliki dua bebidakan yakni sebelah kanan lebih tinggi, dan
sebelah kiri lebih rendah yang berarti kita harus mengutamakan dharma.
Bebidakan yang kiri symbol Dewa Brahma, yang kanan symbol Dewa siwa dan
simpul hidup lemabnagkan Dewa wisnu, udeng jejataran bagian atas kepala
atau rambut masih tidak tertutupi yang berarti masih brahmacara dan
amsih meminta. 2. Udeng dara kepak (dipakai oleh raja), masih ada
bebidakan tetapi ada tambahan penutup kepala yang berarti symbol
pemimpin yang selalu melindungi masyarakatnya dan pemusatan
kecerdasan.3. Udeng beblatukan (dipakai oleh pemangku) tidak ada
bebidakan, hanya ada penutup kepala dan simpulnya di belakang dengan
diikat kebawah sebagai symbol lebih mendahulukan kepentingan umum dari
pada kepentingan pribadi.
Busana adat ke Pura untuk putri.
Sama seperti busana adat putra, pertama diawali dengan memakai kamen
tetapi lipatan kamen melingkar dari kanan ke kiri sesuai dengan konsep
sakti. Putri sebagai sakti bertugas menjaga agar si laki-laki tidak
melenceng dari ajaran Dharma. Tinggi kamen putrid kra-kira setelapak
tangan karena pekerjaan putri sebagai sakti sehingga langkahnya lebih
pendek. Setelah menggunakan kamen untuk putri memakai bulang yang
berfungsi untuk menjaga rahim, untuk mengendalikan emosi. Pada putri
menggunakan selendang/senteng diikat menggunakan simpul hidup dikiri
yang berarti sebagai sakti dan mebraya. Putri memakai selendang diluar,
tidak tertutupi oleh baju, agar selalu siap membenahi putra kalau
melenceng dari ajaran Dharma, dilanjutkan dengan menggunakan
baju(kebaya). Serta pepusungan ada tiga yaitu :1. Pusung gonjer yaitu
di buat dengan cara rambut dilipat sebagaian dan sebagian lagi
digerai,pusung gonjer di gunakan untuk putri yang masih lajang/ belum
menikah sebagai lambang putri tersebut masih bebas memilih dan dipilih
pasangannya. Pusung gonjer juga sebagai symbol keindahan sebagai mahkota
serta sebagai stana Tri Murti2. Pusung Tagel adalah untuk putrid yang
sudah menikah.3. Pusung podgala/pusung kekupu yaitu cempaka putih,
cemapak kuning, sandat sebagai lambing Tri Murti (dn)
Kutipan dari : http://bali.kemenag.go.id/index.php?a=berita&id=130379
Thanks gan sudah di share, saya jadi banyak tau :)
BalasHapushttp://goo.gl/DJqFy2