Sabtu, 09 Januari 2016

KISAH LUBDAKA MENUJU SWARGALOKA

Lubdaka adalah seorang kepala keluarga hidup di suatu desa menghidupi keluarganya dengan berburu binatang di hutan. Hasil buruannya sebagian ditukar dengan barang-barang kebutuhan keluarga, sebagian lagi dimakan untuk menghidupi keluarganya. Dia sangat rajin bekerja, dia juga cukup ahli sehingga tidak heran bila dia selalu pulang membawa banyak hasil buruan.
Hari itu Lubdaka berburu sebagaimana biasanya, dia terus memasuki hutan, aneh pikirnya kenapa hari ini tak satupun binatang buruan yang muncul, dia semua peralatan berburu digotongnya tanpa kenal lelah, dia tidak menyerah terus memasuki hutan. Kalo sampe aku pulang gak membawa hasil buruan nanti apa yang akan dimakan oleh keluargaku..?, semangatnya semakin tinggi, langkahnya semakin cepat, matanya terus awas mencari-cari binatang buruan, namun hingga menjelang malam belum juga menemukan apa yang ia harapkan, hari telah terlalu gelap untuk melanjutkan kembali perburuannya, dan sudah cukup larut jika hendak kembali ke pernaungan.
Ia memutuskan untuk tinggal di hutan, namun mencari tempat yang aman terlindungi dari ancaman bahaya, beberapa hewan buas terkenal berkeliaran di dalam gelapnya malam guna menemukan mangsa yang lelap dan lemah. Sebagai seorang pemburu tentu dia tahu betul dengan situasi ini. Tak perlu lama baginya guna menemukan tempat yang sesuai, sebuah pohon yang cukup tua dan tampak kokoh di pinggir sebuah telaga mata air yang tenang segera menjadi pilihannya.
Dengan cekatan dari sisa tenaga yang masih ada, ia memanjat batang pohon itu, melihat sekeliling sekejap, ia pun melihat sebuah dahan yang rasanya cukup kuat menahan beratnya, sebuah dahan yang menjorok ke arah tengah mata air, di mana tak satu pun hewan buas kiranya akan bisa menerkamnya dari bawah, sebuah dahan yang cukup rimbun, sehingga ia dapat bersembunyi dengan baik. Singkat kata, ia pun merebahkan dirinya, tersembunyikan dengan rapi di antara rerimbunan yang gulita.
Ia merasa cukup aman dan yakin akan perlindungan yang diberikan oleh tempat yang telah dipilihnya. Sesaat kemudian keraguan muncul dalam dirinya. Kalo sampe dia tertidur dan jatuh tentu binatang buas seperti macan, singa, dll akan dengan senang hati memangsanya.
Ia resah dan gundah, badannya pun tak bisa tenang, setidaknya ia harapkan badannya bisa lebih diam dari pikirannya, itulah yang terbaik bagi orang yang dalam persembunyian. Namun nyatanya, badan ini bergerak tak menentu, sedikit geseran, terkadang hentakan kecil, atau sedesah napas panjang. Tak sengaja ia mematahkan beberapa helai daun dari bantalannya yang rapuh, entah kenapa Lubdaka tiba-tiba memandangi daun-daun yang terjatuh ke mata air itu. Riak-riak mungil tercipta ketika helaian daun itu menyentuh ketenangan yang terdiam sebelumnya. Ia memperhatikan riak-riak itu, namun ia tak dapat memikirkan apapun. Beberapa saat kemudian, riak-riak menghilang dan hanya menyisakan bayang gelombang yang semakin tersamarkan ketika masuk ke dalam kegelapan. Ia memetik sehelai daun lagi dan menjatuhkannya, kembali ia menatap, dan entah kenapa ia begitu ingin menatap. Ia memperhatikan dirinya, bahwa ia mungkin bisa tetap terjaga sepanjang malam, jika ia setiap kali menjatuhkan sehelai daun, dan mungkin ia bisa menyingkirkan ketakutannya, setidaknya karena ia akan tetap terjaga, itulah yang terpenting saat ini.
Lubdaka – si pemburu, kini menjadi pemetik daun, guna menyelamatkan hidupnya. Ia memperhatikan setiap kali riak gelombang terbentuk di permukaan air akan selalu riak balik, mereka saling berbenturan, kemudian menghilang kembali. Hal yang sama berulang, ketika setiap kali daun dijatuhkan ke atas permukaan air, sebelumnya ia melihat itu sepintas lalu setiap kali ia berburu, baru kali ia mengamati dengan begitu dekat dan penuh perhatian, bahwa gerak ini, gerak alam ini, begitu alaminya. Sebelumnya, ia mengenang kembali, ketika ia berburu, yang selalu ia lihat adalah si mangsa, dan mungkin si mara bahaya, namun tak sekalipun ia sempat memperhatikan hal-hal sederhana yang ia lalui ketika ia berburu. Lubdaka hanya ingat, bahwa di rumahnya, ada keluarga yang bergantung pada buruannya, dan ia hanya bisa berburu, itulah kehidupannya, itulah keberadaannya.
Ia terlalu sibuk dalam rutinitas itu, ya… sesaat ia menyadari bahwa hidup ini seakan berlalu begitu saja, ia bahkan tak sempat berkenalan dengan sang kehidupan, karena ia selalu sbuk lari dari si kematian, ia berpikir apakah si kematian akan datang ketika si kelaparan menyambanginya, ataukah si kematian akan berkunjung ketika si mara bahaya menyalaminya ketika ia lalai. Semua yang ia lakukan hanyalah sebuah upaya bertahan hidup. Ia tak tahu apapun selain itu, mungkin ia mengenal mengenal kode etik sebagai seorang pemburu, dan aturan moralitas atau agama, namun semua itu hanya sebatas pengetahuan, di dalamnya ia melihat, bahwa dirinya ternyata begitu kosong dan dangkal. Keberadaannya selama ini, adalah identitasnya sebagai seorang pemburu, ia tak mengenal yang lainnya.
Sesekali ia memetik helai demi helai, dan menatap dengan penuh, kenapa ia tak menyadari hal ini sebelumnya, ia bertanya pada dirinya, ia melihat kesibukan dan rutinitasnya telah terlalu menyita perhatiannya. Dalam kehinangan malam, dan sesekali riak air, ia bisa mendengar sayup-sayup suara malam yang terhantarkan bagai salam oleh sang angin, ia pun terhenyak, sekali lagi, ia tak pernah mendengarkan suara malam seperti saat ini, biasanya ia telah terlelap setelah membenahi daging buruannya dan santap malam sebagaimana biasanya.
Terdengar lolongan srigala yang kelaparan tak jauh dari tempatnya berada, secara tiba-tiba ia mengurungkan niatnya memetik daun. Jantungnya mulai berdegup kencang, Lubdaka tahu, pikirannya berkata bahwa jika ia membuat sedikit saja suara, si pemilik lolongan itu bisa saja menghampirinya, dan bisa jadi ia akan mengajak serta keluarga serta kawan-kawannya untuk menunggu mangsa lesat di bawah pohon, walau hingga surya muncul kembali di ufuk Timur. Ia berusaha memelankan napasnya, dan menjernihkan pikirannya. Walau ia dapat memelankan napasnya, namun pikirannya telah melompat ke beberapa skenario kemungkinan kematiannya dan bagaimana sebaiknya lolos dari semua kemungkinan itu. Beberapa saat kemudian, ketenangan malam mulai dapat kembali padanya. Ia mendengarkan beberapa suara serangga malam, yang tadi tak terdengar, ah… ia ingat, ia terlalu ketakutan sehingga sekali lagi tak memperhatikan. Sebuah helaan napas yang panjang, ia masih hidup, dan memikirkan kembali bagaimana ia berencana untuk lolos dari kematian yang terjadi, ia pun tersenyum sendiri, ia cukup aman di sini. Namun Lubdaka melihat mulai melihat sesuatu dalam dirinya, yang dulu ia pandang sambil lalu, sesuatu yang yang ia sebut ketakutan. Lubdaka menyadari bahwa ia memiliki rasa takut ini di dalam dirinya, sesuatu yang bersembunyi di dalam dirinya, ia mulai melihat bahwa ia takut terjatuh dari pohon, ia takut dimangsa hewan buas, bahkan ia takut jika tempat persembunyiannya disadari oleh hewan-hewan yang buas, ia takut tak berjumpa lagi dengan keluarganya. Setidaknya ia tahu saat ini, ia berada di atas sini, karena takut akan tempat yang di bawah sana, tempat di bawah sana mungkin akan memberikan padanya apa yang disebut kematian. Dan ketakutan ini begitu mengganggunya.
Ia kembali memetik sehelai daun dan menjatuhkannya ke mata air, namun secara tak sadar oleh kegugupannya, ia memetik sehelai daun lagi dengan segera, secepat itu juga ia sadar bahwa tangannya telah memetik sehelai daun terlalu cepat. Ia memandangi helaian daun itu, di sinilah ia melihat sesuatu yang sama dengan apa yang ia takutkan, ia melihat dengan jelas sesuatu pada daun itu, sesuatu yang disebut kematian. Daun yang ia pisahkan dari pohonnya kini mengalami kematian, namun daun itu bukan hewan atau manusia, ia tak bisa bersuara untuk menyampaikan apa yang ia rasakan, ia tak dapat berteriak atau menangis kesakitan, ia hanya … hanya mati, dan itulah apa yang si pemburu lihat ketika itu.
Selama ini Lubdaka selalu melihat hewan-hewan yang berlari dari kematiannya dan yang menjerit kesakitan ketika kematian yang dihantarkan sang pemburu tiba pada mereka, Lubdaka telah mengenal sisi kematian sebagai suatu yang menyakitkan, dan kengerian yang timbul dari pengalamannya akan saksi kematian, telah menimbulkan ketakutan di dalam dirinya. Ia melihat ia sendiri telah menjadi buruan akan rasa takutnya. Lubdaka telah melihat bentuk kematian di luar sana, termasuk yang kini dalam kepalan tangannya, ia kini masuk ke dalam dirinya, dan ingin melihat kematian di dalam dirinya, namun semua yang ia temukan hanyalah ketakutan akan kematian, ketakutan yang begitu banyak, namun si kematian itu sendiri tak ada, tak nyata kecuali bayangan kematian itu sendiri. Lubdaka pun tersenyum, aku belum bertemu kematian, yang menumpuk di sini hanyalah ketakutan, hal ini begitu menggangguku, aku tak memerlukan semua ini. Lubdaka melihat dengan nyata bahwa ketakutannya sia-sia, ia pun membuang semua itu, kini ia telah membebaskan dirnya dari ketakutan. Ia pun melepas tangkai daun yang mati itu dari genggamanannya, dan jatuh dengan begitu indah di atas permukaan air. Diapun tidak menyadari bahwa malam itu adalah malam Siva (Siva Ratri). Dimana Siva sedang melakukan tapa brata yoga semadi. Barang siapa pada malam itu melakukan brata (mona brata: tidak berbicara, jagra: Tidak Tidur, upavasa: Tidak makan dan minum) maka mereka akan dibebaskan dari ikatan karma oleh Siva.
Ufuk Timur mulai menunjukkan pijar kemerahan, Lubdaka memandangnya dari celah-celah dedaunan hutan, dalam semalam ia telah melihat begitu banyak hal yang belum pernah ia lihat sebelumnya. Kini ia telah berkenalan dengan kehidupan dan melepas ketakutan-ketakutannya, ia telah mulai mengenal semua itu dengan mengenal dirinya.
Lubdaka begitu senang ia dapat tetap terjaga walau dengan semua yang ia alami dengan kekalutan dan ketakutan, kini sesuatu yang lama telah padam dalam dirinya, keberadaannya begitu ringan, tak banyak kata yang dapat melukiskan apa yang ia rasakan, begitu hening, sehingga ia bisa merasakan setiap gerak alami kehidupan yang indah ini, setiap tiupan yang dibuat oleh angin, dan setiap terpaan sinar yang menyentuhnya. Kini sang pemburu memulai perjalanannya yang baru bersama kehidupan.
Dia menyadari bahwa berburu bukanlah satu-satunya pilihan untuk menghidupi keluarganya. Setelah dia melewati perenungan di malam tersebut, kesadaran muncul dalam dirinya untuk merubah jalan hidupnya. Dia mulai bercocok tanam, bertani hingga ajal datang menjemputnya.
Saat dia meninggal, Atmanya (Rohnya) menuju sunia loka, bala tentara Sang Suratma (Malaikat yang bertugas menjaga kahyangan) telah datang menjemputnya. Mereka telah menyiapkan catatan hidup dari Lubdaka yang penuh dengan kegiatan Himsa Karma (memati-mati). Namun pada saat yang sama pengikut Siva pun datang menjemput Atma Lubdaka. Mereka menyiapkan kereta emas. Lubdaka menjadi rebutan dari kedua balatentara baik pengikut Sang Suratma maupun pengikut Siva. Ketegangan mulai muncul, semuanya memberikan argumennya masing-masing. Mereka patuh pada perintah atasannya untuk menjemput Atma Sang Lubdaka.
Saat ketegangan memuncak Datanglah Sang Suratma dan Siva. Keduanya kemudian bertatap muka dan berdiskusi. Sang Suratma menunjukkan catatan hidup dari Lubdaka, Lubdaka telah melakukan banyak sekali pembunuhan, sudah ratusan bahkan mungkin ribuan binatang yang telah dibunuhnya, sehingga sudah sepatutnya kalo dia harus dijebloskan ke negara loka.
Siva menjelaskan bahwa; Lubdaka memang betul selama hidupnya banyak melakukan kegiatan pembunuhan, tapi semua itu karena didasari oleh keinginan/niat untuk menghidupi keluarganya. Dan dia telah melakukan tapa brata (mona brata, jagra dan upavasa/puasa) salam Siva Ratri/Malam Siva, sehingga dia dibebaskan dari ikatan karma sebelumnya. Dan sejak malam itu Dia sang Lubdaka menempuh jalan hidup baru sebagai seorang petani. Oleh karena itu Sang Lubdaka sudah sepatutnya menuju Suarga Loka (Sorga). Akhirnya Sang Suratma melepaskan Atma Lubdaka dan menyerahkannya pada Siva. (Kisah ini adalah merupakan Karya Mpu Tanakung, yang sering digunakan sebagai dasar pelaksanaan Malam Siva Ratri).
Di malam Siva Ratri ada tiga brata yang harus dilakukan:
1. Mona: Tidak Berbicara
2. Jagra: Tidak Tidur
3. Upavasa: Tidak Makan dan Minum
Siva Ratri datang setahun sekali setiap purwani Tilem ke-7 (bulan ke-7) tahun Caka.
Sumber : http://www.kemudian.com/node/242641

Minggu, 01 Februari 2015

TAJEN DALAM MASYARAKAT BALI

Beberapa antropolog asing pernah menulis perihal keunikan sabung ayam yang ada pada masyarakat Bali. Di antara mereka adalah G. Bateson dan M. Mead dalam karyanya, Balinese Character: A Photographic Analysis (1942); J. Belo “The Balinese Temper” dalam Traditional Balinese Culture (1970), aslinya diterbitkan pada tahun 1935); dan C.Geertz dan H. Geertz dalam The Interpretation of Cultures: Selected Essays (1974). Bagi mereka sabung ayam yang berfungsi sebagai tabuh rah semata maupun untuk memenuhi fungsi sekuler lainnya adalah kenyataan kultural dan simbolis.

Sebagai sesuatu yang simbolis, sekalipun yang bertarung hanya jago-jago (siap), tetapi sesungguhnya yang bertarung di sana adalah manusia-manusia dengan segala lelucon, pembicaraan yang dangkal, dan pelepasan berbagai ketegangan. Di dalamnya terjadi permainan dan penyaluran kekerasan, relasi kekuasaan dan perayaan hasrat akan kemenangan, dan berbagai bentuk histeria yang tidak mungkin disalurkan dalam dunia kehidupan norma dan nilai. Malahan Bateson dan Mead menyatakan paralel dengan konsep orang Bali tentang tubuh sebagai seperangkat bagian-bagian berjiwa dan terpisah-pisah, jago dianggap sebagai zakar yang dapat ditanggalkan, yang dapat bergerak sendiri sebagai alat kelamin yang berjalan-jalan, dan hidup. Geertz malahan menyatakan lebih tegas bahwa jago adalah simbol kejantanan par excellence, ibarat kepastian bahwa air mengalir menuruni bukit.

Kedekatan orang Bali dengan sabung ayam (tajen) atau keakraban orang Bali dengan jago-jago mereka lebih daripada sekadar metaforis. Sebagian besar orang Bali menghabiskan waktu mereka untuk merawat, memberi makan, membicarakan akan ketangguhan, mencoba satu sama lain, dan menatap jago mereka dengan kekaguman dan lamunan mengasyikan serta menerawang penuh harap. Sang jago diperlakukan secara khusus, baik berkaitan dengan makan, cara memandikan, dan memelihara bulu-bulu mereka. Seorang laki-laki yang keranjingan jago, seorang yang antusias dalam arti harfiah, dapat menghabiskan sebagian besar hidupnya untuk jago-jago itu. Malahan menghabiskan tidak hanya sesuatu yang tampak bagi orang luar, melainkan juga bagi diri mereka sendiri, sejumlah besar waktu untuk jago-jago itu. Demikian antusiasnya gambaran orang Bali terhadap jagonya, sebagaimana diungkapkan Geertz sehingga kita tidak sadar juga telah terbius keantusiasan memegang jago kita masing-masing dalam kesempatan ini.

1. Tajen: Pada Masa Lalu dan KiniTajen sebagai fenomena kultural pada masa lalu terutama diarahkan untuk memenuhi fungsi yadnya, berupa tabuh rah, antara lain tajen nyuh dan tajen taluh. Tajen jenis ini dilaksanakan setelah tari kincang-kincung, berupa tarian dengan sarana tombak dan keris (kadutan) pada menjelang upacara piodalan selesai. Tari dan tajen jenis ini merupakan ekspresi kekerasan dalam bentuk pertarungan hingga menang-kalah karena kekalahan (kematian) pada satu pihak bermakna memberi kemenangan (kehidupan) pada pihak lain. Perang dan kematian adalah kebutuhan rohani, kebutuhan religi. Religi selalu berhubungan dengan metakosmos dan menghadirkan yang “yang di luar sana” itu dalam dunia manusia, agar berkah transenden lebih menghidupkan manusia. Pada dasarnya mereka juga tidak menyukai kematian dan perang. Akan tetapi hidup harus dilakukan seperti itu karena hanya dengan cara itulah hidup ini dimungkinkan. Dengan demikian kehidupan dapat berjalan normal kembali tanpa tekanan, baik fisik maupun psikis. Ini mengandaikan bahwa setiap orang termasuk orang Bali dalam dirinya telah terkandung unsur-unsur kekerasan, bahkan ketegangan-ketegangan yang secara normal harus mendapat saluran pelepasan. Melalui upacara keagamaan yang ditautkan pada kesenian dan tradisi lainnya rupanya, orang Bali memperoleh penyaluran kekerasan dan pelepasan ketegangan hidup yang dialami sehari-hari. Itu sebabnya sabung ayam yang pertama senantiasa dilaksanakan di areal pura. Jika dipandang perlu dilanjutkan maka hal itu diselenggarakan di jabaan pura dengan tetap diikat oleh tata krama yang semestinya berlaku dalam areal pura.

Kalaupun tajen dilaksanakan bukan di kekeran tempat suci dan dalam konteks upacara (dan umumnya dilaksanakan enam bulan sekali) maka sebelum dilaksanakan sambung ayam dapat dipastikan selalu akan didahului dengan upacara keagamaan. Setidaknya dalam areal itu akan dipasang sanggah cucuk yang salah satu maknanya mengingatkan manusia agar dalam menjalani kehidupan yang sarat dengan aspek gambling, senantiasa tetap berada pada koridor kejujuran, etika, sopan-santun, dan hal-hal lain yang berhubungan dengan pemantapan makna itu. Artinya, sekalipun disadari ada unsur judi yang melekat pada pelaksanaan tabuh rah, tetapi unsur-unsur judi senantiasa dicoba diminimalkan dengan proses ritual dan simbolis. Sebaliknya, saat ini tajen cenderung dilaksanakan sepanjang waktu lepas dari konteks upacara. Jikapun dilaksanakan dalam konteks upacara, acapkali hal itu dilaksanakan sebagai kamuflase dari sebuah upacara tertentu, yang boleh jadi tidak apa-apa jika tidak diisi dengan tajen.

Tajen pada masa yang lalu umumnya dilaksanakan oleh desa dan atau banjar adat dengan berbagai prosedur, ketaatan warga untuk mentaati perarem yang telah mereka rumuskan, percayai, dan dijadikan pedoman bertingkah laku. Jikapun karena kemampuannya seorang warga diminta mengkoordinasikan pelaksanaan tajen maka orang itu tetap tunduk pada desa dan banjar adat yang menjadi penanggung jawab pelaksanaan tejen. Jadi, segala hak dan kewajiban yang melekat pada kedudukan sebagai koordinator pelaksanaan tajen, bukan merupakan hak dan kewajiban individu. Belakangan ini malahan saya melihat bahwa tajen acapkali diselenggarakan oleh individu dan atau kelompok orang dengan hak-hak dan kewajiban yang diklaim sebagai hak individu atau kelompok, lepas dari tanggung jawab desa atau banjar adat. Tentu yang lebih memprihatinkan lagi jika betul adanya sinyalemen keterlibatan oknum aparat dalam penyelenggaraan tajen misalnya, dengan meminta hasil satu kali putaran dari siklus yang disepakati.

Pola ini membawa konskuensi yang amat luas secara sosiologis. Jika pada masa lalu, tajen tidak dapat dihindarkan pelaksanaan maupun unsur judinya, tetapi tajen tetap dapat dikendalikan dan diisolir secara relatif. Sirkulasi ‘kekayaan’ warga, juga bergerak di sekitar itu dengan nilai yang relatif terjangkau. Sebaliknya, dengan network individu atau kelompok penyelenggara semakin luas, semakin terbuka pula adanya kapital ‘asing’ masuk ke dalam tataran ekonomi lokal sehingga keseimbangan sirkulasi ekonomi kerakyatan tidak dapat dipertahankan lagi. Fungsi rekreasi, releksasi, dan pelepasan dari berbagai kesuntukan sebagaimana dinyatakan Geertz tidak lagi dapat dipenuhi, malahan ketegangan-ketegangan baru mulai tercipta.

Ketegangan-ketegangan itu merupakan wujud awal dari sebuah pertikaian. Dalam upacara keagamaan, justru pertikaian itulah yang membuat pasangan oposisi. Dalam pertikaian, dalam perang, dan dalam kematian yang diakibatkannya, hadir suatu yang transenden. Daya-daya hidup ini justru hadir dalam bentuk kematian. Kematian adalah kehidupan. Perang adalah syarat perdamaian, kemakmuran, dan kesuburan. Bagi si pemenang dan yang dikalahkan kematian diperlukan agar hidup dapat dilanjutkan. Ini bukan berarti masyarakat tidak menjalanan hidup dalam kelompok-kelompok sosial. Hidup bersama dalam satu kelompok itu kodrati karena manusia memang makhluk sosial. Manusia tidak mungkin hidup sendirian. Akan tetapi kesosialan ini juga tetap berpegang teguh pada prinsip pemisahan. Setiap banjar atau desa pakraman mempunyai pasangan banjar atau desa pakraman masing-masing. Pasangan-pasangan itu, bahkan membentuk federasi banjar atau desa pakraman. Namun pasangan-pasangan banjar atau desa pakraman tadi bukan dalam arti perkawinan, melainkan pasangan perang. Pasangan persaingan. Pasangan tetap dalam perseteruan. Ini memungkikan kehidupan tetap belangsung.

Dalam pasangan oposisi laki-laki versus perempuan dalam budaya perang, tentu saja laki-laki yang mengalahkan perempuan. Suami-istri juga harus dipisahkan. Ada rumah perempuan dan ada rumah lelaki. Ada ruang perempuan dan ada ruang lelaki dalam satu rumah. Garis pemisahnya harus jelas. Pemisahan dan jarak itulah yang baik. Lelaki lebih berkuasa daripada perempuan. Lelaki adalah hidup itu sendiri. Pemujaan lelaki, pemujaan phalus, pemujaan kelamin lelaki menguasai kehidupan. Anak laki-laki lebih diharapkan karena memungkinkan hidup kolektif terus berlangsung. Perempuan bukan tidak diperlukan, tetapi dikalahkan. Perempuan kelas dua. Pemujaan lelaki, pemujaan pahlawan yang gugur dalam perang mendapat tempat terhormat dalam etika sosial. Mereka adalah manusia-manusia berjasa bagi kelompok.

Apabila benar ini pola pikir yang mendasari kelahiran tajen di Bali maka fenomena tajen itu pada prinsipnya sejalan dengan gagasan Jakob Sumardjo tentang masyarakat yang membangun budayanya berdasarkan berpikir pola dua, yakni bahwa hidup itu pemisahan. Hidup itu persaingan; hidup itu konflik; dan konflik itu adalah perang. Adanya pasangan oposisi semua hal harus dipecahkan dengan mengalahkan salah satu. Jikalau pasangannya kalah, lenyap, dan mati maka hidup dimungkinkan. Kematian satu pihak memungkinkan pihak lain itu hidup. Kondisi hidup ini mau tak mau harus diterima seperti itu. Hidup itu pemisahan karena penyatuan tidak menyenangkan. Dalam masyarakat berpola dua jumlah kelompok sosial bukan semakin menyatu, tetapi semakin terpisah-pisah. Semakin lama jumlah suku semakin banyak. Bahasa semakin bervarian dan sengaja membedakan diri dengan kelompok lain yang jelas dipandang sebagai pesaingnya. Ini sebabnya pro-kontra dan pertikaian menjadi warna kehidupan budaya masyarakat.

2. Pro-Kontra terhadap Tajen
Dari fenomena terurai di atas dalam berbagai diskursus maupun pembicaraan di lingkungan masyarakat kebanyakan telah berkembang dua pemikiran utama dalam menyikapi masalah tajen, yaitu sebagai berikut.
Pertama, perspektif ini lebih bertitik tolak dari pemikiran idealisme-normatif. Termasuk dalam kelompok ini juga mereka yang menganut paham teologis. Argumentasi mereka adalah tajen berbeda dengan tabuh rah. Tajen merupakan bias dari konsep tabuh rah yang notabenanya sarat dengan nuansa ritual-religius. Tabuh rah adalah sebuah proses awal dari rangkaian ritual berikutnya. Tabuh rah berhubungan dengan upaya manusia untuk memelihara hubungan baik dengan dunia bawah, dunia yang memerlukan kurban, binatang, dan darah yang langsung mengalir dari tubuh koban. Jadi, tabuh rah berfungsi menetralkan hubungan manusia dengan dunia bawah, sebelum menapak dunia tengah dan atas. Oleh karena tajen merupakan bias dari konsepsi tabuh rah, dan cendrung telah menjadi sebuah game yang mengandung unsur spekulasi dan taruhan dengan harapan memperoleh keuntungan maka tajen bukanlah sesuatu yang patut dilestarikan, melainkan sebaiknya diminimalkan keberadaannya. Penganut pemikiran ini beranggapan bahwa tajen sebagai fenomena judi merupakan ‘candu’ bagi masyarakat. Ia hanya menjajikan kebahagiaan, membawa orang ke alam hampa udara dan tidak pernah dapat berdiri dengan tegak. Malahan pandangan yang agak sinis dilontarkan untuk itu dengan menyatakan bahwa tidak ada orang yang kaya karena judi, tetapi sebaliknya banyak dijumpai orang menjadi miskin dan menderita karena judi. Sebab itu, judi dalam segala bentuknya harus dihindarkan.

Pandangan ini cendrung berpretensi puritanisme yang dibawa oleh nasionalisme radikal. Penganut paham ini cenderung khawatir akan petani miskin, orang yang tidak terdidik mempertaruhkan seluruh harta mereka dalam game itu. Mereka juga khawatir terhadap adanya perilaku menyia-nyiaan waktu, padahal sebagai bangsa yang sedang membangun memanfaatkan waktu secara baik merupakan awal dari kesuksesan. Dalam pernyataan yang agak sinis, para penganut paham ini kembali melontarkan pernyataan: bagaimana mungkin kita akan masuk ke dalam setting global, jika sebagian besar waktu yang ada dimanfaatkan hanya untuk memelihara jago dan mengadunya?

Kedua, kelompok ini disebut dengan emperisme-pragmatis karena argumentasi yang dilontarkannya senantiasa berdimensi empiris dan pragmatis. Bagi mereka tajen adalah sebuah wadah bagi orang Bali dalam mengekspresikan berbagai emosi dan sebagai perwujudan karakter mereka. Tajen sebagai sesuatu fakta, ia ada dan tidak mungkin dinisbikan hanya oleh kekuasaan birokrasi, terlebih hal itu merupakan keinginan masyarakat. Dalam proses historis, sekalipun pada masa pemerintahan Belanda dan Republik, tajen dilarang toh dalam kenyataannya tajen tetap ada dan semakin semarak saja.

Tajen tidak saja telah memungkinkan tumbuh dan berkembangnya sektor informal dalam arena pertandingan jago, seperti saya, tukang taji, pekembar, dan sebagainya; tetapi ia telah mampu memberi kehidupan bagi lingkungan yang lebih luas di luar arena. Dalam aspek emperis, terbukti terdapat banyak infrastruktur desa yang dibangun dari hasil tajen, tidak terbatas hanya pada bangunan sekuler, tetapi juga bangunan yang disucikan. Oleh karena itu, menisbikan tajen sama artinya dengan tidak mau tahu dengan kenyataan yang ada. Malahan para penganut paham ini menyatakan: mengapa kita harus takut dengan judi, bukankah hidup kita ini sesungguhnya sebuah permainan atau gambling?

3. Tajen dan Pembangunan Berbudaya
Komitmen pembangunan Bali berdasarkan kebudayaan yang bersumber dari agama Hindu memiliki implikasi luas, termasuk dalam upaya memahami dan menempatkan persoalan tajen dalam proses pembangunan lainnya. Jika kita konsisten terhadap makna teologis pembangunan berbudaya maka seharusnya menjadi komitmen bersama untuk meminimalkan segala bentuk judi. Artinya, jikapun tajen belakangan ini kelihatan semakin marak di Bali, bukan merupakan sebuah pembenar untuk melegalkan hal itu. Sebab, pengalaman teologis sebagaimana digambarkan dalam kisah Mahabharata telah memberikan cukup bekal kepada kita bahwa (1) judi telah membuat orang menderita dalam kurun waktu yang cukup lama dengan berbagai cobaannya; (2) judi telah menimbulkan adanya berbagai konflik kepentingan di dalam lingkungan keluarga; (3) judi telah menyebabkan runtuhnya etika dan sopan santun.
Jika karena semakin maraknya tajen kemudian dilegalkan maka logika yang sama tidak dapat dihindarkan ketika kita mencoba memahami dan mengkaji patologis sosial lainnya, seperti pelacuran. Bukankah pelacuran telah ada bersamaan dengan adanya manusia, dan bukankah pula realitas menunjukkan bahwa belakangan ini hal seperti itu juga semakin marak? Konskuensinya kita juga tidak dapat menutup mata terhadap kenyataan ini, dan bagaimana dengan judi lainnya, seperti bola adil, blok kiu, spirit, dan sejenisnya.

Semakin maraknya tajen, metuakan, dan patologis sosial lainnya seperti prostitusi juga tidak mengharuskan untuk melegalkannya. Krisis ekonomi berkepanjangan yang mengakibatkan terjadinya pemutusan hubungan kerja, masih terbatasnya lapangan kerja produktif, dan karena itu mengakibatkan waktu senggang menjadi sedemikian banyaknya, merupakan sebab yang harus dicari jalan keluarnya. Jadi, maraknya persoalan tajen, metuakan, dan prostitusi tidak mengharuskan kita mengambil kebijakan yang bertentangan dengan pertimbangan teologis dan kultural.

Pendapat saya (boleh setuju maupun tidak), semakin maraknya judi dalam segala bentuknya terkait dengan banyaknya waktu luang yang belum dimanfaatkan secara efektif. Jika saja setiap orang telah memiliki tanggung jawab terhadap pekerjaan dan kewajiban sosial lainnya maka tindakan ke arah itu (judi) tentu akan dapat diminimalkan. Oleh karena itu, perlu dilakukan langkah-langkah ke arah optimalisasi peran, seperti memanfaatkan potensi pemuda untuk mengaktifkan kembali pekan olahraga dan seni desa, melaksanakan lomba sekaa teruna, dan melaksanakan berbagai bentuk pendalaman sradha pada seluruh lapisan masyarakat. Dengan kata lain, untuk melepaskan diri kita dari tarikan semacam itu maka kita harus kembali ke jalan dharma. Bukankah kita telah diajarkan oleh para leluhur untuk menikmati kesenangan (khama) berdasarkan dharma, demikian pula dalam rangka menghasilkan artha harus dilandasi oleh dharma. Jika ini tetap menjadi pegangan pembangunan berwawasan budaya bernafaskan agama Hindu maka tampaknya kita harus bersama-sama berusaha ke arah itu.

Proses ke arah itu bukanlah sesuatu yang mudah untuk dilakukan. Ia memerlukan kesungguhan hati, niat yang luar biasa, ketabahan, dan latihan terus-menerus. Dalam menapaki proses ke arah itu, kita akan dihadapkan pada berbagai tantangan dan godaan, malahan pengucilan-pengucilan tertentu karena dianggap tidak sesuai dengan opini yang berlaku saat itu. Sekalipun demikian, kami akan berusaha tetap melaksanakan amanat pembangunan berbudaya bernafaskan agama Hindu dengan tidak menutup mata pada kenyataan bahwa masih ada banyak persoalan kemanusiaan, adat, agama, dan lingkungan yang memerlukan perhatian lebih serius.

4. Simpulan
Berdasarkan uraian itu dapat kami simpulan, bahwa tajen merupakan bias dari konsep tabuh rah. Sebagai suatu game yang mengandung spikulasi dan harapan untung rugi, tajen hendaknya dikembalikan kepada konsepsi dasar, yaitu tabuh rah – sebuah sarana persembahan kepada Tuhan dalam rangka memelihara hubungan harmonis dengan tuhan, alam, dan manusia. Artinya, saat ini telah terjadi pergeseran makna sabungan ayam pada masyarakat Bali, dari memenuhi fungsi ritual, sosial, emosional ke arah fungsi spekualisi dan judi.

Maraknya tajen tidak harus diikuti dengan usaha melegalkan permainan itu, melainkan memberi pembobotan yang padat dan berisi kepada setiap orang Bali (umat) yang memiliki banyak waktu luang. Pembobotan kepada setiap umat, diharapkan tidak akan mengalihkan perhatian terhadap hal semacam itu, tetapi juga akan memberikan proses pencerahan, untuk selanjutnya digunakan bekal masuk dalam setting global yang sebentar lagi menghadang di hadapan kita. Upaya perlawanan dengan hukum positif rupanya juga bukan jalan keluar yang memuaskan karena basis budaya berdasarkan berpikir pola dua mengendapkan persaingan, pertikaian, dan konflik adalah kodrati. Di dalamnya diperlukan upaya bersama semua pihak dan terus-menerus karena upaya menekan tajen pada tataran pelarangan akhirnya, mendapat reaksi yang sepadan. Dengan kenyataan ini patut dipertimbangkan sebuah penelusuran terhadap akar budaya masyarakat sebagaimana tampak dalam ritual-ritual keagamaan. Dengan demikian orang Bali yang berbudaya dan berciri Hindu tetap survive dalam pertarungan global.

Demikian beberapa pokok pikiran yang dapat saya sampaikan disertai harapan semoga pikiran baik datang dari segala penjuru dan diberikan petujuk oleh-NYA dalam melaksanakan amanat dharma agama dan dharma negara.

Sumber : http://www.cakrawayu.org/artikel/8-i-wayan-sukarma/62-tajen-dalam-masyarakat-bali.html

Tata Cara Memakai Kamen yang Baik dan Benar

Pakaian adalah suatu tren tertentu sesuai dengan fenomena yang dihadapi, namun kita sering lupa apa makna pakaian tersebut bagi dirinya. Sebagai manusia yang berkebudayaan pakian merupakan wujud budaya suatu individu dan bangsa. Pakaian memberikan nilai dan warna dari budaya . Sebagai manusia yang memiliki pikiran cerdas pakaian merupakan buah pikiran yang matang untuk dapat memperlihatkan prestis atau harga diri ditengah-tengah orang lain yang membenahi diri dalam mencari jati diri. Filosofi pakaian adat bali pada dasarnya bersumber pada ajaran Sang Hyang Widhi yakni Tuhan yang di yakini memberikan keteduhan, kedamaian dan kegembiraan bagi umat Hindu yang mempercayainya. Pakaian adat Bali pada dasarnya adalah sama, yakni kepatuhan terhadap Sang Hyang Widhi. Dasar konsep dari busana adat bali adalah konsep Tapak dara (swastika) yang disebut Tri angga yang terdiri dari :1. Dewa Angga : dari leher ke kepala2. Manusa Angga : dari atas pusar sampai leher3. Butha Angga : dari pusar samapai BawahAdapun yang dimaksud dengan komposisi dan jenis pakaian adat Bali adalah : Busana (Payas) Gede/ Agung, Busana Jangkep/ lengkap (Madia) dan Busana adat alit / sederhana. Dalam acara tersebut Bapak Wayan Gunarta Lebih menekankan pada Makna Filosofis Pakaian adat yaitu :a. Busana adat ke pura untuk putra Dalam menggunakan busana adat Bali diawali dengan menggunakan kain/kamen, dengan lipatan untuk putra kamen/ wastra melingkar dari kiri kekanan karena merupakan pemegang Dharma. Tinggi kamen putra kira-kira sejengkal dari telapak kaki karena putra sebagai penanggung jawab Dharma harus melangkah dengan panjang, tetapi harus tetap melihat tempat yang dipijak adalah Dharma. Pada putra menggunakan kancut (lelancingan) dengan ujung yang lancip dan sebaiknya menyentuh tanah (menyapuh jagat), ujungnya yang kebawah sebagai symbol penghormatan terhadap ibu pertiwi. Kancut juga merupakan symbol kejantanan. Untuk persembahyangan, tidak diperkenankan untuk menunjukkan kejantanan yang berarti pengendalian, tetapi pada saat ngayah kejantanan itu boleh ditunjukkan. Untuk menutupi kejantanan itu maka ditutupi dengan saputan (kampuh). Tinggi saputan kira-kira satu jengkal dari ujung kamen, selain untuk menutupi kejantanan, saputan juga berfungsi sebagai penghadang musuh dari luar. Saputan melingkar berlawanan arah jarum jam (prasawya). Kemudian dilanjutkan dengan menggunakan selendang kecil (umpal) yang bermakna kita sudah mengendalikan hal-hal yang buruk. Pada saat inilah tubuh manusia sudah terbagi dua yaitu Bhuta Angga dan Manusa Angga. Penggunaan umpal diikat menggunakan simpul hidup di sebelah kanan sebagai symbol pengendalian emosi dan menyama. Pada saat putra memakai baju , umpal harus terlihat sedikit agar kita pada sat kondisi apapun siap memegang teguh Dharma. Kemudian dilanjutkan dengan menggunakan baju (kwaca) dengan syarat bersih, rapi dan sopan. Baju pada saat busana adat terus berubah-ubah sesuai dengan perkembangan. Pada saat kepura harus menunjukan rasa syukur kita, rasa syukur tersebut diwujudkan dengan memperindah diri. Jadi pada bagian baju sebenarnya tida ada patokan yang pasti. Kemudian dilanjutkan menggunakan udeng (destar). Udeng secara umum dibagi tiga yakni: 1). udeng jejateran (udeng untuk persembahyangan) menggunakan simpul hidup di depan, disela-sela mata, sebagai lambang cundamani atau mata ketiga. Juga sebagai lambang pemusatan pikiran, dengan ujung menghadap keatas sebagai symbol penghormatan pada Sang Hyang Aji Akasa.udeng jejateran memiliki dua bebidakan yakni sebelah kanan lebih tinggi, dan sebelah kiri lebih rendah yang berarti kita harus mengutamakan dharma. Bebidakan yang kiri symbol Dewa Brahma, yang kanan symbol Dewa siwa dan simpul hidup lemabnagkan Dewa wisnu, udeng jejataran bagian atas kepala atau rambut masih tidak tertutupi yang berarti masih brahmacara dan amsih meminta. 2. Udeng dara kepak (dipakai oleh raja), masih ada bebidakan tetapi ada tambahan penutup kepala yang berarti symbol pemimpin yang selalu melindungi masyarakatnya dan pemusatan kecerdasan.3. Udeng beblatukan (dipakai oleh pemangku) tidak ada bebidakan, hanya ada penutup kepala dan simpulnya di belakang dengan diikat kebawah sebagai symbol lebih mendahulukan kepentingan umum dari pada kepentingan pribadi.

Busana adat ke Pura untuk putri. Sama seperti busana adat putra, pertama diawali dengan memakai kamen tetapi lipatan kamen melingkar dari kanan ke kiri sesuai dengan konsep sakti. Putri sebagai sakti bertugas menjaga agar si laki-laki tidak melenceng dari ajaran Dharma. Tinggi kamen putrid kra-kira setelapak tangan karena pekerjaan putri sebagai sakti sehingga langkahnya lebih pendek. Setelah menggunakan kamen untuk putri memakai bulang yang berfungsi untuk menjaga rahim, untuk mengendalikan emosi. Pada putri menggunakan selendang/senteng diikat menggunakan simpul hidup dikiri yang berarti sebagai sakti dan mebraya. Putri memakai selendang diluar, tidak tertutupi oleh baju, agar selalu siap membenahi putra kalau melenceng dari ajaran Dharma, dilanjutkan dengan menggunakan baju(kebaya). Serta pepusungan ada tiga yaitu :1. Pusung gonjer yaitu di buat dengan cara rambut dilipat sebagaian dan sebagian lagi digerai,pusung gonjer di gunakan untuk putri yang masih lajang/ belum menikah sebagai lambang putri tersebut masih bebas memilih dan dipilih pasangannya. Pusung gonjer juga sebagai symbol keindahan sebagai mahkota serta sebagai stana Tri Murti2. Pusung Tagel adalah untuk putrid yang sudah menikah.3. Pusung podgala/pusung kekupu yaitu cempaka putih, cemapak kuning, sandat sebagai lambing Tri Murti (dn)

Kutipan dari : http://bali.kemenag.go.id/index.php?a=berita&id=130379

Senin, 03 Maret 2014

Hindu Mendebat Part 13



13. Anubhava, bukan wahyu

(T) : Siapa yang menerima wahyu kitab sucimu?
(AH) : Sudah kukatakan sebelumnya cara para maharsi itu menemukan isi kitab suci adalah melalaui anubhava, bukan disampaikan oleh seorang perantara atau melalui ilham.
Tetapi didengar, dilihat, ditemukan secara langsung oleh para maharsi ketika mereka dalam keadaan Samadhi, atau anubhava, atau diberikan secara langsung oleh Tuhan sebagai avatara kepada manusia, seperti Bhagawad Gita.

(T) : Lalu siapa nama para maharsi yang menemukan isi Weda?
(AH) : Mantra-mantra dari keempat Weda yang jumlahnya 25,000, diterima, dilihat atau didengar oleh 7 maharsi ketika mereka dalam keadaan anubhava. Ketujuh maharsi itu adalah 1. Rsi Grtasamada; 2. Rsi Wismamitra; 3.Rsi Wamadewa; 4.Rsi Atri; 5. Rsi Bharadwadja; 6. Rsi Wasistha; 7. Rsi Kanwa. Mantra-mantra itu kemudian dikodifikasikan oleh Maharsi Viyasa dibantu 4 orang muridnya sehingga terbentuklah Catur Weda : Maharsi Pulaha (Rig Weda), Maharsi Jaimini (Sama Weda), Maharsi Vaisampayana (Yajur Weda) dan Maharsi Sumantu (Atawa Weda).

(T) : Jadi kitab sucimu ditemukan oleh banyak Maharsi? Wahyu dalam kitab suciku diterima oleh hanya seorang nabi.
(AH): Tapi kan nabimu mengaku sebagai penerus dari nabi-nabi sebelumnya. Artinya nabimu meneruskan karya-karya nabi sebelumnya, termasuk ajaran yang disampaikan oleh mereka, yang terdapat dalam kitab suci sebelumnya. Padahal orang Yahudi dan Kristen mengatakan para nabi mereka tidak menerima wahyu, tetapi inspirasi, seperti seorang pengarang yang menulis suatu sajak karena mendapat inspirasi dari keindahan alam atau kecantikan seorang gadis misalnya.

Catatan:
Savepalli Radhakrishnan, menulis: Pernyataan tentang pemilikan satu wahyu unik, dan menolak diklasifikasikan sebagai satu dari antara yang banyak, menyebabkan kerusakan atau kehancuran bagi manusia. Ia berbahaya baik di dalam motif maupun akibatnya. Kebenaran itu diklaim tidak hanya mutlak tetapi juga eksklusif. Pendukung dari klaim ini tidak mengatakan “ini adalah jalan saya” tetapi “inilah jalan satu-satunya jalan”. Kita menyanyangkan akibat-akibat jahat dari fanatisme dan ketidakpercayaan, yang juga muncul dari rasa pemilikan kebenaran eksklusif. Klaim dari kemutlakan eksklusif menghasilkan satu pernyataan iman yang agresif, penindasan terhadap keyakinan lain, sikap mengadili terhadap agama lain, dan upaya untuk memaksakannya kepada orang lain melalui sekolah, pengadilan dan lain-lain. Sejarah member banyak bukti tentang orang-orang beriman atau percaya akan suatu yang bersifat mutlak, apakah system kepercayaaan mutlak, mengembangkan sikap tidak toleran.

Karl Jaspers menulis: Bahaya lain adalah kecendrungan untuk membahayakan kehendak Tuhan dapat diketahui secara pasti; ini menjadi sumber fanatisme. Banyak hal mengerikan telah dilakukan di dunia telah dibenarkan oleh kehendak Tuhan. Kaum fanatic gagal untuk mendengar banyak arti yang melekat di dalam setiap pernyataan dari pengalaman mengenai suara Tuhan. Setiap orang yang mengatakan mengetahui secara pasti apa yang dikatakan dan dikehendaki oleh Tuhan, membuat Tuhan menjadi seorang manusia di dalam dunia, di atas mana ia mengatur atau menentukan, dan demikian di atas jalan menuju ketahyulan.

Hindu Mendebat Part 12


12. Maharsi, bukan nabi 

(T) : Siapa nabi agama Hindu?
(AH) : Apa nabi itu?
 

(T) : Nabi adalah orang yang diangkat oleh TUhan sebagai utusan untuk menerima wahyu dan memberikan peringatan kepada umat manusia. NAbi adalah pemimpin agama, pemimpin Negara pemimpin militer. Nabi adalah panutan bagi umat manusia.
(AH) : Kami tidak punya nabi, tapi kami punya banyak maharsi.
 

(T) : Apa itu maharsi? Apa bedanya dengan nabi?
(AH) Maharsi itu adalah orang bijaksana. Mereka adalah orang yang melewati tahap kehidupan sebagai pelajar (brahmacari) dan berumah tangga (grihasta) dengan baik. Mereka sudah ada dalam tahap hidup wanaprasta (hidup di hutan) atau sanyas, sebagai bhiksu pengembara. Mereka tidak terlibat lagi di dalam urusan keluarga atau politik. JAdi mereka tidak ikut berperang, membagi hasil jarahan menjual budak misalnya.
 

(T) : Lalu apa saja yang mereka kerjakan?
(AH) : Mereka sepenuhnya hidup untuk spiritual atau kerohanian. Dan syarat untuk itu, mereka sebelumnya harus menjalankan hidup yang sangat bermoral. Karena itu sangat jarang ada kritik tentang kehidupan para maharsi kami. Hampir tidak ada kontroversi tentang kehidupan mereka. Walaupun demikian mereka tidak meminta agar kehidupannya ditiru secara membuta. Mereka tidak ingin dikultuskan. Yang penting adalah ajaran-ajarannya. Jumlah orang-orang semacam ini banyak sekali dalam agama Hindu. Tetapi kami tidak punya kewajiban merayakan hari lahir maupun kematiannya. Karena ketika mereka meninggal, jiwa mereka telah menjadi satu dengan Tuhan.
 

(T) : Nabiku telah diramalkan di dalam kitab sucimu. Oleh karena itu orang-orang Hindu harus masuk agamaku.
(AH) : Teman, itu tidak benar. Itu sudah dibantah oleh banyak ahli agamaku. Di dalam Weda atau Sruti, kitab utama di dalam agamaku, tidak ada soal ramal meramal. Agamaku bukan agama yang didasarkan atas ramalan. Agamaku didasarkan atas pengalaman rohani nyata dari para maharsi. Dan andaikata menurutmu ramalan itu benar, berarti kitab suciku benar, dan oleh karena itu bukankah kamu yg seharusnya
masuk Hindu?

Hindu Mendebat Part 11


11. Yang terakhir yang paling sempurna?

(T) : Agama Hindu itu kan agama kuno, sudah tidak cocok lagi di zaman sekarang, sedangkan agamaku adalah agama paling baru dan karena itu paling sempurna. Ya, seperti mobil saja, model terbaru pastikan yang terbaik
(AH) : Ya kalau mobil mungkin saja. Tetapi itupun tergantung jenisnya. Sekedar menyebut contoh, mobil Mercedes buatan Jerman sekalipun telah diproduksi jauh lebih dulu, tetap lebih baik dari buatan local, karena mobil Mercedes terus memperbaharui mesin dan modelnya. LAgi pula agama bukan mobil atau barang konsumsi lainnya. Agama adalah soal ajaran-ajaran kebenaran. BIsa saja agama yang belakangan merupakan tiruan yang keliru dari agama terdahulu nya.


(T) : Bagaimana bisa?
(AH) : Agamaku disebut “ Sanatana Dharma”, kebenaran abadi. Agamaku mengajarkan ahimsa atau non-kekerasan. Sedangkan agamamu banyak mengajarkan kebencian dan kekerasan. Agamaku mengajarkan bahwa semua manusia bersaudara, wasudaiva kutumbakam, sedangkan agamamu hanya mengajarkan persaudaraan antar umatmu saja. Agamaku mengajarkan untuk mencintai semua orang, dan menganggap orang lain sebagai saudara, karena jiwa di dalam diri setiap orang adalah sama, tat twam asi; sedangkan agamamu mengajarkan apartheid antara orang beriman versus orang kafir. Dan memerintahkan orang beriman menaklukan atau membinasakan orang kafir. Jadi mana dari kedua ajaran itu yang lebih baik, yang lebih cocok dengan zaman sekarang ini? Ajaran tentang non-kekerasan dan persaudaraan universal atau ajaran tentang kebencian kekerasan dan permusuhan antar kelompok? Ajaran-ajaran Hindu seperti karma, reinkarnasi, yoga, ahimsa, penghargaan terhadap kemajemukan, penghormatan kepada perempuan dan alam, mulai diterima secara luas di Barat

(T) : Aku tetap ber prinsip, agama yang paling belakang adalah agama yang paling sempurna.
(AH) : Kalau begitu agama paling sempurna adalah agama Sikh, Ahmadiyah dan Bahai, karena ketiga agama ini adalah agama yang lahir lebih belakang dari agamaku maupun agamamu.


(T) : Itu kan agama bidah
(AH) :Itu namanya penilaian sepihak dan sewenang-wenang. Mereka juga bisa mengatakan hal yang sama terhadap agamamu. Tapi ukuran yang tak penting apakah agama itu sempurna atau tidak, bukanlah pertanyaan-pertanyaan dogmatis seperti itu. Agama itu seperti pohon. Apakah pohon baik atau buruk, dilihat dari buahnya, bukan dari tulisan iklan yang ditempel di batang pohon itu.


(T) : Apa maksudmu?
(AH) : Buah dari agama adalah masyarakat yang menganut agama itu. Baik atau buruknya satu agama itu. Baik atau buruknya satu agama tergantung dari perilaku dan perilaku dan keadaan pemeluknya. JIka satu agama dikatakan sempurna ukurannya adalah masyarakatnya.
Apakah masyarakat pemeluk agama itu memiliki prestasi moral yang tinggi? Apakah masyarakat pemeluk agama itu maju secara ekonomi, ilmu pengetahuan dan teknologi? Apakah masyarakat itu menghargai hak-hak individu? Apakah masyarakat pemeluk agama itu menghargai kaum perempuan? Apakah masyarakat pemeluk agama itu menghargai hak-hak kaum minoritas, termasuk hak politik, social, dan kebebasan beragama? Apakah masyarakat pemeluk agama itu menghargai martabat yang lemah.
Kesempurnaan suatu agama tidak ditandai dengan menghancurkan atau menaklukkan agama-agama lain, melalui kekerasan, tekanan polotik atau bujukan ekonomi. Hal-hal semacam ini justru menunjukkan ketidak sempurnaan suatu agama, dan bahwa tanpa itu, agama ini sesungguhnya tidak memiliki sesuatu yang berharga dan menarik untuk ditawarkan kepada manusia.
Ajaran atau filsafat Hindu tersebar luas ke seluruh dunia, karena penerimaan setiap orang secara sukarela. Sebagai contoh, keyakinan tentang karma, reinkarnasi, praktik yoga, tidak pernah dijual dengan iming-iming/janji-janji apalagi ancaman.

Catatan.
Agama seharusnya tidak mengajarkan kebencian atau permusuhan dengan membagi ke dalam dua kubu yang berlawanan, antara orang kafir lawan orang beriman. Tetapi sebaliknya seharusnya mengajarkan keselarasan, cinta kasih dan persahabatan terhadap semua orang atau semua makhluk, seperti mantra Weda di bawah ini:
“ Semoga aku menghargai semua makluk dengan mata seorang kawan. Dengan mata seorang kawan kami menghargai satu sama lain.” Yajur Weda.36.31.